Minggu, 25 Maret 2012

Mempercepat Koneksi Internet di Warnet

Cara Mempercepat Koneksi Internet di Warnet-Mempercepat Koneksi Internet di Warnet-Sobat pasti menginginkan mengakses koneksi internet dengan cepat bukan? Nah kali ini Ruang Sharing akan berikan tips bagaimana cara mengatasi koneksi internet yang lelet abis. Tapi perlu dicatat, bahwa trik ini berlaku buat kamu yang mengakses internet di warnet dan menggunakan mozilla Firefox sebagai browsernya. tujuannya adalah mempercepat koneksi internet di komputer kita dengan menyedot bandwitdh komputer lain di dalam 1 warnet. Jadi koneksi internet kita jadi lebih cepat dan yang lain jadi sedikit lambat.
Licik yah? Tapi nggak apa-apa, kalo warnetnya rame kan semuanya lambat jadi mereka juga ga bakal nyadar.

Kalo kamu mau ngikutin trik licik ini,begini caranya untuk mempercepat koneksi internet di warnet:

1. Di address bar mozzila ketik about:config kemudian akan terlihat tulisan yang banyak sekali

2. gunakan fasilitan ctrl+f untuk mencari kata, kata yang di cari adalah sebagai berikut dan di rubah

* Network.http.pipelining; False <– klik 2 kali ubah “False” menjadi “True“
* Network.http.pipelining.maxrequests; 4 <-- klik 2 kali ubah “4” menjadi “30“
* Network.http.proxy.pipelining; False <– klik 2 kali ubah “False” menjadi “True“

3. Kemudian klik kanan di bagian yang kosong/putih terus pilih new terus integer lalu kolom pertama isikan nglayout.initialpaint.delay lalu tekan enter satu kali dan masukan angka 0 dan tekan enter kembali.

4. restart ulang mozzila firefoxnya

5. Selamat berinternet ria dengan cepat, karena bandwitdh akan tersedot ke komputer kamu, ini tadi adalah tips mempercepat koneksi internet di warnet.

Kamis, 15 Maret 2012

Alam Serawai (Manna, Bengkulu Selatan)


bebeghapau pemandangan diau adau di bengkulu selatan


                                                               Pantai Pasar Bawah

                                                                   Pantai Ketaping




                                                              Lawang Agung, Kedurang




                                                                         Ketaping



                                                                     Babatan, Seginim

Legenda Batu Betajuk di Kecamatan Ulu Manna

Cerita ini berawal di sebuah sungai kecil, dimana ada seorang gadis sedang mandi sambil mencuci pekaian, namu disayangkan pakaiaan sang hanyut terbawa arus kehilir sungai. Akhirnya sang gadis memutuskan mengikuti arus sungai untuk mencari pakaiaannya yang hanyut itu.
Di hilir sungai ketika itu ada seorang pemudaan yang sedang memancing ikan, sangat disayangkan bukan ikan yang terkait dikail pancingan sang pemuda, namun tak lain adalah sehelai pakaiaan hanyut. Keheranan sang pemuda pun muncul, sambil berguma “pakaian siapa yang terkait dikail pancingan ku ini”. masih dalam suasana keheranan , pemuda tersebut dikagetkan dari arah hulu sungai Nampak seseorang gadis sedang mencari sesuatu dialiran sungai, setelah agak dekat pemuda itu menyapa. “apakah engkau mencari pakaian ini ?”, “benar, pakaian itu yang saya cari” jawab sang gadis. Pemuda tersebut memberikan pakaian yang menyangkut dikail pancingannya itu kepada sang gadis. “terimah kasih, telah menemukan pakaian ku” ucap gadis itu, “sama-sama, pakaian itu tadi tersangkut di kailku tanpa sengaja” jawab pemuda itu.
Dari sini perkenalan mereka dimulai, “saya Bujana dari kampung kanari” kata pemuda, “saya Lailena gadis dari kampung Kayu Sebatang” balas sang gadis. Dari perkenalan ini, ada timbul perasaan di antara mereka, namun tidak mereka ungkapkan.
Selang 5 malam sejak pertemuan Bujana dengan Lailena. Bujana rindu dan ingin sekali bertemu Lailena lagi. Akhirnya dia putuskan untuk mencari Lailena di Kayu Sebatang. Keesokan harinya Bujana akhirnya menemukan rumah orang tua Lailena. Namun Lailena masih malu-malu dengan kehadiran Bujana.
71 hari berlalu, hubungan Bujana dan Lailena semakin dekat. Dan sudah ingin melanjutkan ke ijab-kabul. Dari orang tua Lailena mereka mendapatkan restu, tapi sangat di sayangkan tidak mendapatkan restu dari orang tua Bujana. Karena keluarga Lailena berasal dari keluarga yang tak mampu, dan sangat berbeda jauh dengan keluarga Bujana yang berasal datri keluarga yang kaya raya. 
Niat Bujana ingin membawa istrinya kerumah orang tuanya ditolak oleh orang tuanya. Dengan demikian mereka tinggal di rumah orang tua Lailena. 
Setelah menjalani hidup bersama, Bujana merasa tidak kerasan, karena dia tidak terbiasa hidup miskin. Akhirnya timbul pertengkaran, dan ketika itu Lailena mengandung delapan (8) bulan Laili. Bujana berkata “Saya tidak akan terus hidup bersama kamu, kalau begini terus”, “dari dulu kami memang miskin, tetapi kenapa kamu mau, bukan kah kamu mau menerima kami apa adanya” jawab Lailena. Bujana membalas kata-kata Lailena, “ Dahulu dan sekarang tidak bakalan sama”.
Akhirnya Bujana merantau ke kota yang cukup besar. Disana Bujana menetap dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Bahkan Bujana diangkat diangkat menjadi anak oleh pemilih bekerjanya yang juga orang kaya-raya dan bahkan dijadikan anak tertua. Namun dengan kebusukan hati Bujana, ia menghamili Raisan anak pemilik tempatnya bekerja. Karena tak ingin menanggung malu Bujana akhirnya dinikahkan dengan Raisan. Dari pernikahan Bujana dengan anak orang kaya ini lahir lah seorang anak laki-laki yang bernama Kumala. Umur Laili dengan Kumala terpaut 3 tahun.
Setelah Laili sudah dewasa, ia memutuskan pamit dengan ibunya untuk merantau ke kota. Laili tidak tahu kalau kota yang ia rantaui juga kota bapak nya. Dan Laili juga tanpa sengaja mendapatkan pekerjaan di tempat bapaknya. Semenjak Laili bekerja disana, Kumala selalu mendekati Laili. Dahulunya Laili tiadak punya hati dengan Kumala, karena Laili ingat pesan ibunya “janganlah mencari suami yang kaya-raya karena berakibat seperti ibu”. Namun lambat laun Laili akhirnya timbul perasaan kepada Kumala. Pada saat itu mereka tidak tahu kalu Laili adalah adik Kumala. Laili dan Kumala pun pada akhirnya menjalin hubungan. 
Taatkala Laili ingin pulang ke kampung halaman, Kumala tidak setuju, “kalau kamu ingin pulang ke kampung mu, aku juga harus ikut”. Laili dan Kumala pergi bersama ke kampung Laili Desa Kayu Sebatang. 
Ketika mereka tiba di rumah Laili. Ibu Laili heran dan bertanya kepada Laili “Siapa kah dia ?”, namun bukan Laili yang menjawab, melaikan Kumala “Saya Kumala, calon suami Laili”. Laili heran kenapa Kumala berkata seperti itu kepada Ibu Laili. Setelah pertemuan itu Kumala pulang ke kota, untuk memenuhi persayaratan ibu Laili “apabila kamu sudah bisa mencari uang dengan keringat kamu sendiri, kamu boleh menikahi anak saya”. 
2 Tahun kemudian, Kumala kembali lagi menemui Laili dengan membawa seperangkat alat sholat dan satu lingkaran emas sebagai emas kawin untuk meminang Laili. Ibu Laili bertanya kepada Kumala “apakah ini hasil keringat kamu sendiri, buka ?”, Kumala menjawab “saya bersumpah ini hasil tetesan keringat saya sendiri”. Ibu Laili memberikan restu dan setuju, Laili pun setuju, Karena, Ibu Laili berkata “Kumala tidak seperti ayah kamu, yang selama ini mengandalkan harta orang tuanya”.
Kumala kembali ke kota untuk menghadap bapanya, ingin menyampaikan bahwa ia ingin meminang Laili. Ayah Kumala juga ikut setuju. Kemudia ditetapkan lah hari Jum’at setelah selesai Sholat Jum’at sebegai hari pernikahan mereka. Kumala sudah ada di rumah Laili sebelum hari pernikahan mereka.
Hari pernikahan Laili dan Kumala telah tiba, undangan telah berdatangan, begitu juga Alibi orang yang menjadi penghulu dalam pernikahan mereka. Sebelum ijab-kabul dilaksanakan, Kumala meminta untuk menunggu kedatangan bapak dan ibunya dari kota. 
Tak beberapa lama kemudian, bapak dan ibu Kumala tiba. Kumala berkata “ini bapak saya”. Ibu Laili bertanya kepada Bapak Kumala yang juga bapak Laili “Kemana kamu selama ini ?”, ayah mereka pun heran dan menjawab “Kumala itu anak ku”. “Pernikahan ini harus di batalkan” teriak Ibu Laili. 
Laili dan Kumala tidak bisa menerima kenyataan. Bahwa mereka adalah saudara satu darah. Laili akhinya berlari ke sungai tempat ibu dan bapaknya pertama kali bertemu. Di situ Laili duduk, dan berguma “Kalau saya tidak dinikahkan dengan Kumala, saya bersumpah lebih baik saya jadi batu dari pada tidak dinikahkan”. Laili termakan sumpahnya sendiri, jadilah ia seperti batu yang menyerupai orang berpakaian perang, Yang sekarang ini lebih dikenal dengan Batu Bertajuk. Dan Kumala lari ke belakang rumah dengan arah lain, Kumala juga bersumpah “lebih baik saya menjadi binatang, dari pada menikahi kakak saya sendiri”. Kumala menjelma menjadi seekor ular yang berwarna hitam

Bahasa Serawai "Kota Manna"

Bahasa Serawai merupakan bahasa yang paling banyak di gunakan di Kabupaten Bengkulu Selatan. Kecamatan-kecamatan yang menggunakan bahasa Serawai ini antara lain :
1. Kecamatan Manna
2. Kecamatan Pino
3. Kecamatan Talo
4. Kecamatan Seluma

Saya ingin sedikit menulis bagaimana cara bahasa Serawai di gunakan Kota Manna.

Kata Ganti Subjek
1. Aku
Dalam percakapan dengan siapa pun lawan bicara tetap menggunakan kata “Aku”. Seperti “aku jemau Manna” (Aku orang Manna).
2. Kamu
Di daerah kota manna penggunaan kamu dapat digantikan dengan Nama apabila lawan bicara adalah teman sebayan, dan bisa menggunakan kata “kaba”, kata “kaba” terdengar sangat kasar apabila disapakan kepada orang yang lebih tua. Sehingga kata “kaba” dikhususkan untuk teman yang sebayan. Seperti “Kaba endak kemanau”(kamu mau kemana).
Untuk sapan kepada yang lebih tua biasanya menggunakan kata ”dighi”. Seperti “dighi jak manau” (Kamu dari mana).

RUMUS BAHASA
berbicara bahasa serawai sebenarnya bisa dikatakan mudah. Hampir semua bahasa Melayu Indonesia sama dengan bahasa Serawai.

1. Penambahan “U”
Setiap kali berbicara menggunakan bahasa serawai, penggunaan bahasa indonsia yang berakhiran huruf “a” akan ditambah dengan huruf “u”.
Contoh :
Kemana = Kemanau
Gila = Gilau
Mana = manau
Siapa = Siapau
Bisa(racun) = bisau
Kita = Kitau

2. Struktur kalimat
Kalimat positif = subjek + kata kerja + objek. dan juga bisa diberi keterangan. Jika dalam bahasa Indonesia predikat menggunakan awal huruf m, dalam bahasa serawai huruf m boleh dihilangkan. Tapi hanya beberapa saja yang dapat di hilangkan.

Contoh :
Aku embeli ayam di pekan = Saya membeli ayam di pasar.
Uncu masak gulai ikan = bibi masak gulai ikan

Kalimat negataif.
Penggunaan kalimat negatif biasaanya menggunakan endik(tidak). Subjek + endik + predikat + objek.
Aku embuat layang-layang(aku membuat layang-layang ) > aku endik embuat layang-layang(aku tidak membuat layang-layang)
Aku galak beghusiak(aku suka bermain) > aku endik galak beghusiak(aku tidak suka bermain)

Kalimat tanya
Pada dasarnya struktur bahasa serawai hampir sama dengan bahasa Melayu versi Indonesia.
Seperti :
Jak manau kaba(dari mana kamu)
Endak kemanau kaba(mau kemana kamu)
Lah udim kaba bekerjau(sudahkah kamu bekerja)

Cara melafaskan kata
Jika dalam bahasa Indonesia pengucapan huruf r di ujung lidah. Namu dalam bahasa serawai, biasanya apa bila ada kata yang menggunakan huruf r. pengucapannya dilakukan di pangkal lidah sehingga akan berubah bunyi menjadi “gh”.
Seperti :
Ghumah(rumah)
Gheban(kandang tempat ternak)

Akan tetapi ada juga yang tidak bisa dirubah menjadi bunyi “gh”
Seperti :
Rajin
Riang

Minggu, 04 Maret 2012

ASAL-USUL SUKU-SUKU BANGSA DI PROPINSI BENGKULU


Di Propinsi Bengkulu terdapat cukup banyak suku bangsa yang memiliki ciri-ciri budaya sendiri. Setiap suku bangsa tersebut memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Suku-suku bangsa yang telah hidup secara turun temurun di Propinsi Bengkulu antara lain adalah : suku bangsa Rejang; suku bangsa Serawai, suku bangsa Melayu Bengkulu, suku bangsa Pasemah, suku bangsa Lembak, suku bangsa Muko-Muko, Suku bangsa Enggano, suku bangsa Kaur dan sebagainya.
Dari berbagai suku bangsa yang hidup di Bengkulu tersebut, mayoritas penduduk asli berasal dari suku bangsa Rejang (yang tersebar di Kabupaten Rejang Lebong dan Bengkulu Utara) dan Serawai --- yang sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini fokus utama yang menjadi sorotan adalah kehidupan dan adat istiadat suku bangsa Rejang dan Serawai, tanpa bermaksud untuk mengabaikan keberadaan suku-suku bangsa lainnya.

1. Suku Bangsa Rejang.

Asal usul suku Rejang hingga saat ini masih belum diketahui secara jelas. Kisah-kisah mengenai suku Rejang sampai saat ini hanya didasarkan pada keterangan-keterangan ahli Tembo dan Adat Rejang. Menurut Tembo dan Adat Rejang, suku Rejang berasal dari Bedaracina yang datang ke Daerah Bengkulu melalui Pagarruyung dan menetap di suatu lembah subur, yang kemudian mereka sebut Renah Sekalawi. Orang pertama yang memimpin suku bangsa Rejang adalah Sutan Sriduni.
Setelah berkembang, keturunan rombongan pertama yang dipimpin oleh Sutan Sriduni menganggap bahwa Renah Sekalawi merupakan tanah asal-usul mereka. Dalam perkembangan selanjutnya suku Rejang terbagi dalam empat kelompok besar yang disebut Petulai. Keempat Petulai tersebut masing-masing dipimpin oleh seorang pimpinan yang disebut Ajai. Keempat Ajai tersebut adalah :
a. Ajai Bintang, memimpin di Sadei (desa) Pelabai Lebong yang terletak di Marga Suku IX Kecamatan Lebong Utara;
b. Ajai Siang, memimpin di Sadei Siang Lakat yang terletak di Marga Jurukalang Kecamatan Lebong Selatan;
c. Ajai Malang, memimpin di di Sadei Bandar Agung yang terletak di Marga Suku IX Kecamatan Lebong Utara; dan
d. Ajai Begelang Mato, memimpin di Sadei Kutai Belek Tebo, yang terletak di Marga Suku VIII Kecamatan Lebong Selatan.
Selanjutnya suku Rejang didatangi oleh empat orang bangsawan dari Kerajaan Sriwijaya yang mampu menanamkan pengaruhnya kepada suku Rejang. Keempat bangsawan ini kemudian kawin dengan puteri-puteri para Ajai dan selanjutnya diangkat menjadi pimpinan ke empat Petulai. Keempat bangsawan Sriwijaya tersebut diberi gelar Bikaw (berasal dari kata Biku atau Biksu) dan masing-masing memimpin satu kesatuan kekeluargaan yang diberi nama sesuai dengan identitas kelompok masing-masing. Para Bikaw dan kelompok masyarakatnya tersebut adalah :
a. Bikaw Sepanjang Jiwo, memimpin Marga Tubai yang terletak di Pelabai;
b. Bikaw Bermano, memimpin Marga Bermani yang terletak di Kutei Rukam dekat dusun Tes sekarang;
c. Bikaw Bejenggo, memimpin marga Selupuak yang terletak di Batu Lebar dekat Anggung Rejang di Kesambe;
d. Bikaw Bembo, memimpin marga Jurukalang yang terletak di Suka Negeri dekat Tapus (hulu Sungai Ketahun).
Keempat kelompok masyarakat di bawah pimpinan para Bikaw kemudian disebut Rejang Empat Petulai (Jang Pat Petulai), yang terdiri dari Petulai Tubai (Tubai), Petulai Jurukalang, Petulai Selupuak dan Petulai Bermani. Pada masa itu di setiap Petulai terdapat Kuteui (desa yang berdiri sendiri) sebagai suatu kelompok masyarakat hukum adat di bawah Petulai. Kepala Kuteui di sebut Tuai Kuteui dan dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh Kepala Sukau/Sadei.
Dari generasi ke generasi Petulai-Petulai tersebut tersebar ke wilayah-wilayah sepanjang aliran sungai Musi, Sungai Ketahun, Sungai Kelingi, pesisir pantai, dan tempat-tempat lainnya. Dalam tembo tempat-tempat perpindahan ini disebut Sindang Empat Lawang, Sindang Beliti, Ulu Musi, Renah Pesisir dan Renah Ketahun.
Di sekitar awal abad XVII Masehi, diadakan permufakatan besar suku bangsa Rejang yang dipimpin oleh Petulai dan pecahan-pecahan Peulai dari keempat wilayah Lebong. Permufakatan besar ini bertujuan untuk membina persatuan dan kesatuan suku bangsa Rejang. Keputusan-keputusan penting dari permufakatan besar tersebut antara lain :
a. Seluruh daerah yang didiami oleh suku bangsa Rejang dibagi dalam empat Luak, yaitu Luak Lebong, Luak Ulu Musi, Luak Lembak Beliti dan Luak Pesisir.
b. Pecahan-pecahan Petulai Tubai di luar wilayah Lebong diakui keberadaannya dan disebut Migai (Merigi), sedang pecahan di dalam wilayah Lebong disebut Sukau Delapeun (Suku VIII) dan Sukau Semilan (Suku IX).
c. Pemberian gelar Depati bagi para pemimpin Petulai, yaitu :
1) Depati Pasak Bumi bagi Sapau Lanang, pemimpin Petulai Bermani di Kuteui Rukam;
2) Depati Rajo Besar bagi Rio Tado, pemimpin Petulai Jurukalang di Tapus;
3) Depati Tiang Alam bagi Ajai Malang, pemimpin Petulai Selupuak di Atas Tebing;
4) Depati Kemala Ratu bagi Ki Pati, pemimpin pecahan-pecahan petulai Sukau Delapeun di Karang Anyar.
d. Dalam bidang pertahanan dan keamanan diadakan pembagian tugas sebagai berikut :
1) empat orang pemimpin Sindang Empat Lawang dan lima orang pemimpin Sindang Beliti menjaga ancaman musuh dari Timur;
2) sebelas orang pemimpin dari Renah Pesisir dan tujuh orang pemimpin Renah Ketahun menjaga ancaman musuh yang datang dari laut.
Pemerintahan kolektif di seluruh suku bangsa Rejang di mulai saat ini dengan pimpinan keempat Depati tersebut bersama-sama. Oleh sebab itu, pemerintahan kolektif empat Depati ini disebut dengan istilah pemerintahan Depati Tiang Empat. Koordinator pemerintahan ini adalah Ki Pandan, pimpinan pecahan petulai Sukau Semilan yang berkedudukan di Bandar Agung dengan gelar Rajo Depati.
Selanjutnya suku bangsa Rejang memiliki satu kesatuan pimpinan adat yang dipegang oleh Depati Tiang Empat. Segala perselisihan adat atau bila ada kekacauan dilaporkan kepada Depati Tiang Empat yang memutuskan kata akhir. Demikian pula apabila ada keturunan pecahan petulai Tubai di luar Lebong mengalami kesulitan dan kekurangan akan hal adat.
Pemerintahan kolektif Depati Tiang Empat ini terus berjalan secara turun-temurun hingga sampai pada awal penjajahan Belanda (1860/1860 Masehi). Namun setelah itu secara bertahap, pemerintah penjajah mulai menghilangkan eksistensi pemerintahan Depati Tiang Empat ini.
Suku bangsa Rejang telah mengenal tulis baca karena mereka telah memiliki huruf tersendiri yang disebut oleh sebahagian ahli sebagai tulisan Rencong. Masyarakat Rejang sendiri menyebut tulisan mereka sebagai huruf Ka Ga Nga. Huruf ini dahulu dapat digunakan oleh para pemimpin suku bangsa Rejang, Palembang, Serawai, Komering dan Lampung. Perbedaan huruf Rencong dari masing-masing suku bangsa tersebut memang ada, tapi tidaklah banyak.

2. Suku Bangsa Serawai.

Suku bangsa Serawai merupakan suku bangsa kedua terbesar yang hidup di daerah Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di Kabupaten Bengkulu Selatan yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo Pino, Kelutum, Manna dan Seginim. Suku bangsa Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini banyak dari mereka yang pindah ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru, seperti ke Rejang Lebong, Bengkulu Utara dan sebagainya.
Secara tradisional, suku bangsa Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis tanaman keras, misalnya cengkeh, kopi, kelapa dan karet. Meskipun demikian, mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura dan peternakan untuk kebutuhan hidup.
Asal-usul suku bangsa Serawai masih belum bisa dirumuskan secara ilmiah, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk-bentuk publikasi lainnya. Asal-usul suku bangsa Serawai hanya diperoleh dari uraian atau ceritera dari orang-orang tua. Sudah tentu sejarah tutur seperti ini sangat sukar menghindar dari masuknya unsur-unsur legenda atau dongeng sehingga sulit untuk membedakan mana yang bernilai sejarah dan mana yang bukan. Ada satu tulisan yang diketemukan di makam Leluhur Semidang Empat Dusun yang terletak di Maras, Kecamatan Talo. Tulisan tersebut ditulis di atas kulit kayu dengan menggunakan huruf yang menyerupai huruf Arab kuno. Namun sayang sekali sampai saat ini belum ada di antara para ahli yang dapat membacanya.
Berdasarkan ceritera para orang tua, suku bangsa Serawai berasal dari leluhur yang bernama Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Asal-usul Serunting Sakti sendiri masih gelap. Sebagian orang mengatakan bahwa Serunting Sakti berasal dari suatu daerah di Jazirah Arab, yang datang ke Bengkulu melalui kerajaan Majapahit. Di Majapahit, serunting Sakti minta suatu daerah untuk didiaminya dan oleh Raja Majapahit dia diperintahkan untuk memimpin di daerah Bengkulu Selatan. Ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti berasal dari langit, ia turun ke bumi tanpa melalui rahim seorang ibu. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti adalah anak hasil hubungan gelap antara Puyang Kepala Jurai dengan puteri Tenggang.
Di dalam Tembo Lebong terdapat ceritera singkat mengenai seorang puteri yang bernama puteri Senggang. Puteri Senggang adalah anak dari Rajo Megat, yang memiliki dua orang anak yakni Rajo Mawang dan Puteri Senggang. Dalam tembo tersebut kisah mengenai Rajo Mawang terus berlanjut sedangkan kisah puteri Senggang terputus begitu saja. Hanya saja ada disebutkan bahwa puteri Senggang terbuang dari keluarga Rajo Mawang.
Apabila kita simak ceritera tentang kelahiran Serunting Sakti, diduga ada hubungannya dengan kisah puteri Senggang ini dan ada kemungkinan bahwa puteri Senggang inilah yang disebut oleh orang Serawai dengan nama puteri Tenggang. Diceriterakan bahwa Puyang Kepala Jurai yang sangat sakti jatuh cinta pada Puteri Tenggang, tapi cintanya ditolak. Namun berkat kesaktiannya, Puyang Kepala Jurai dapat melakukan hubungan dengan puteri Tenggang, tanpa disadari oleh puteri itu sendiri. Akibat dari perbuatan ini puteri Tenggang menjadi hamil. Setelah puteri Tenggang melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Puteri Tolak Merindu barulah terjadi perkawinan antara putri Tenggang dengan Puyang Kepala Jurai, itupun dilakukan setelah puteri Tolak Merindu dapat berjalan dan bertutur kata.
Setelah perkawinan tersebut, keluarga Puyang Kepala Jurai belum lagi memperoleh anak untuk jangka waktu yang lama. Kemudian Puyang Kepala Jurai mengangkat tujuh orang anak, yaitu : Semidang Tungau; Semidang Merigo; Semidang Resam; Semidang Pangi; Semidang Babat; Semidang Gumay dan Semidang Semitul. Setelah itu barulah Puyang Kepala Jurai memperoleh seorang putera yang diberi nama Serunting. Serunting inilah yang kemudian hari menjadi Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Serunting Sakti berputera tujuh orang, yaitu :
a. Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang (sekarang termasuk marga Semidang Alas), Bengkulu Selatan;
b. Gumatan, yang menetap di Pasemah Padang Langgar, Lahat;
c. Serampu Rayo, yang menetap di Tanjung Karang Enim, Lematang Ilir Ogan Tengah (LIOT);
d. Sati Betimpang, yang menetap di Ulak Mengkudu, Ogan;
e. Si Betulah, yang menetap di Saleman Lintang, Lahat;
f. Si Betulai, yang menetap di Niur Lintang, Lahat; dan
g. Bujang Gunung, yang menetap di Ulak Mengkudu Lintang, Lahat.
Putera Serunting Sakti yang bernama Serampu Sakti mempunyai 13 orang putera yang tersebar di seluruh tanah Serawai. Serampu Sakti dengan anak-anaknya ini dianggap sebagai cikal bakal suku bangsa Serawai. Putera ke 13 Serampu Sakti yang bernama Rio Icin bergelar Puyang Kelura mempunyai keturunan sampai ke Lematang Ulu dan Lintang.
Dalam istilah daerah Rejang, suku bangsa Serawai sering disebut Jang Sawei (Rejang Serawai). Dari sini kita dapat mengetahui bahwa suku bangsa Rejang menganggap bahwa suku bangsa Serawai merupakan salah satu pecahan dari Suku bangsa Rejang atau sejak dulu sudah berasimilasi dengan suku bangsa Rejang. Hal ini mungkin ada benarnya, banyak tarian adat suku bangsa Rejang yang memiliki banyak kesamaan dengan tarian adat suku Serawai, terlebih lagi bila kita menyimak kisah tentang puteri Senggang di atas.
Kata Serawai sendiri masih belum jelas artinya. Sebagian orang mengatakan bahwa Serawai berarti "satu keluarga", hal ini tidak mengherankan apabila dilihat rasa persaudaraan atau kekerabatan di antara orang-orang Serawai sangat kuat. Selain itu ada pula tiga pendapat lain mengenai asal kata Serawai, yaitu :
a. Serawai berasal dari kata Sawai yang berarti Cabang. Cabang di sini maksudnya adalah cabang dua buah sungai yakni Sungai Musi dan Sungai Seluma yang dibatasi oleh Bukit Campang;
b. Serawai berasal dari kata Seran. Kata Seran sendiri bernakna Celaka, hal ini dihubungkan dengan legenda anak raja dari hulu yang dibuang karena terkena penyakit menular. Anak raja ini dibuang ke sungai dan terdampar di muara dan disitulah anak raja tersebut membangun negeri.
c. Serawai berasal dari kata Selawai yang berarti Gadis atau Perawan. Pendapat ini mendasarkan diri pada ceritera yang mengatakan bahwa suku bangsa Serawai adalah keturunan sepasang suami-isteri. Sang Suami berasal dari Rejang Sabah (penduduk asli pesisir pantai Bengkulu) dan isterinya adalah seorang puteri atau gadis yang berasal dari Lebong. Dalam bahasa Lebong, puteri atau gadis disebut Selawai. Kedua suami-isteri ini kemudian beranak-pinak dan mendirikan kerajaan kecil yang oleh orang Lebong dinamakan Selawai.
Suku bangsa Serawai juga telah memiliki tulisan sendiri. Tulisan itu, seperti halnya huruf Ka Ga Nga suku Rejang, disebut oleh para ahli dengan nama huruf Rencong. Suku bangsa Serawai sendiri menamakan tulisan itu sebagai Surat Ulu. Susunan bunyi huruf pada Surat Ulu sangat mirip dengan tulisan Ka Ga Nga pada huruf Rejang. Oleh sebab itu tidak aneh apabila pada masa lalu para pemimpin suku-suku bangsa Rejang dan Serawai dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan bentuk-bentuk tulisan ini.


Rasan Bujang Gadis

berasan itu sendiri artinya adalah bermusyawarah. Rasan menurut jenjang perkawinan senantiasa dipakai dua macam, yaitu :
1. Rasan Semendau Nidau Belapik Emas
2. Rasan Semendau BElapik Emas

Semendau berasal dari kata samau endak au, artinya di natara keduanya sama-sama mau serta mendapat persetujuan dari orang tua kedua belah pihak.
Rasan Semendau Nidau Belapik Emas, maksudnya adalah si Bujang ikut pihak Gadis. cara seperti ini disebut juga dengan Tambiak anak. ada 3 macam rasan seperti ini :
a. Tambiak Naka Biasa (Terbanyak) dipakai bila dua sejoli telah di nikahkan. mereka berdualah yang menentukan tempat tingaalnya sesuai dengan keinginannya.
b. Tambiak Anak Nenantian, artinya walaupun sudah dinikahkan si bujang masih tetap mengikuti di pihak gadis selama yang dinantikan belum kawin (biasa terjadi kakak si perempuan itu belum kawin)
c. Tambiak Anak Lengit (Hilang), dimana si bujang itu selam-lamanya tetap tinggal di pihak istrinya dan dia tidak lagi mendapatkan hak warisan dari orang tuanya, karena sebelum dinikahkan si bujang tersebut sudah mendapatkan apa yang dikehendakinya yang hampir bersamaan dengan pembagian warisan.

sementara Rasan Semendau Belapik Emas, maksudnya adalah sah dirumah, artinya si gadis mengikut pihak suami dengan mendapat alasan uang yang disebut rial. Rasan seperti ini juga dapat dipakai dengan dua cara, yaitu :
a. Sah di Rumah ( si perempuan mengikut laki-laki) niasa.
b. Sah Lengit (Hilang), si perempuan tetap tinggal di pihak laki-laki dan tidak pula akan mendapatkan warisan dari orang tuanya karena barang-barang bawaannya sudah dianggap

kedua Rasan itu dalam pelaksanaannya menggunakan 2 macam cara :
1. Rial Tetepiak (Terletak) Rasan Jadi, artinya setelah ada janji antara si bujang dan si gadis, masing-masing orang tuanya memeriksa yang bersangkutan dan setelah mendapat kata sepakat langsung ditetapkan waktu pelaksanaan pernikahan.
2. Rasan Pepayunan (Memakai tenggang waktu), maksudnya, setelah ada janji antara si bujang dan si gadis, kemudian setelah diperiksa oleh masing-masing orang tuanya mendapatkan ata sepakat bahwa si bujang dan si gadis harus bertunangan terlebih dahulu.